PT BESTPROFIT - Kamis kemarin tekanan dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah mulai mereda. Terlihat dari perdagangan spot dan Reuters dolar AS meninggalkan level Rp 14.900-an. Memang berbagai upaya sudah dilakukan oleh pemerintah dan Bank Indonesia (BI) untuk menjaga kestabilan nilai tukar mata uang garuda ini. BESTPROFIT Mulai dari intervensi ganda yang dilakukan BI hingga kebijakan pemerintah yang membatasi impor beberapa jumlah jenis barang. BEST PROFIT Namun Presiden Joko Widodo diminta tetap waspada meskipun Rupiah mulai menguat. Ini karena masih ada bayang-bayang sentimen global yang akan mempengaruhi nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS. Menanggapi hal tersebut anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Komisi XI Muhammad Misbakhun menjelaskan mulai kuatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS adalah hasil dari langkah yang sudah dilakukan Bank Indonesia (BI) dan pemerintah. PT BEST PROFIT
"Hasilnya ya kan kita lihat kemarin BI sudah melakukan intervensi ganda mulai di pasar valas sampai beli surat berharga negara (SBN)," kata Misbakhun usai acara sosialisasi LPAS di Hotel Sari Pacific, Jakarta Pusat, Kamis (6/9/2018). Dia menjelaskan, dengan langkah-langkah tersebut akan menimbulkan kepercayaan di pasar keuangan. Namun, pemerintah dan BI juga masih harus waspada meskipun dolar AS sudah mulai menjinak. "Masih harus waspada, kan sentimen yang terjadi tak hanya berasal dari dalam negeri tapi juga dari luar negeri yang memang tak bisa dikontrol oleh pemerintah," ujar dia. Menurut dia, dari dalam negeri masyarakat juga bisa membantu meredam dolar AS. Misalnya tidak membeli barang-barang impor. "Keinginan jalan-jalan ke luar negeri ditahan dulu, liburannya domestik saja, karena tidak usah beli dolar AS kan," jelas dia. Kian menguatnya dolar AS diyakini dipengaruhi oleh faktor eksternal, di antaranya krisis di Turki dan Argentina, kenaikan suku bunga acuan AS hingga perang dagang AS dan China. Bank Indonesia (BI) sejauh ini telah mengintervensi AS di pasar SBN hingga Rp 11,9 triliun. Menurut Direktur for Investment Strategy PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat salah satu faktor penguatan rupiah adalah keputusan pemerintah menaikkan pajak impor terhadap 1.147 komoditas. Selama ini yang membuat investor asing menarik diri memang melebarnya defisit transaksi berjalan. "Jadi pemerintah harus memberikan sinyal perbaikan," tuturnya di Graha CIMB Niaga, Jakarta, Kamis (6/9/2018). Budi menilai, penguatan rupiah bisa saja berlanjut dan kembali ke level Rp 14.500 di akhir tahun. Namun ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah yakni menurunkan defisit transaksi berjalan. Pada 2017 defisit transaksi berjalan sebesar US$ 17,53 miliar atau 1,73% dari PDB. Sementara pada semester I-2018 defisit transaksi berjalan juga sudah mencapai US$ 13,7 miliar, hingga akhir tahun diperkirakan mencapai US$ 25 miliar. Menurut Budi, dolar AS bisa mencapai Rp 14.500, jika defisit transaksi berjalan itu turun 40% dari tahun lalu. "Menurut modal kita kalau misalnya pemerimtah bisa ngerem CAD 40% itu mungkin bisa balik lagi ke Rp 14.500. Penguatan dolar AS tidak bisa kita lawan, itu eksternal. Tapi masalah kita itu current account deficit (CAD) itu kombinasinya di ekspor dan bagaimana menekan impor," tambahnya. Meski begitu, Budi yakin Sri Mulyani Cs bisa menyelesaikan pekerjaan rumah itu. Buktinya sudah ada upaya dengan menaikkan pajak impor terhadap 1.147 komoditas. Selain itu, dari sisi masyarakat, harus ada edukasi untuk mau berinvestasi di pasar uang, seperti surat berharga negara. Dengan begitu tekanan terhadap keluarnya dana asing bisa terbendung. Direktur for Investment Strategy PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat menilai salah satu penyebab lemahnya rupiah juga dari perilaku konsumtif masyarakat Indonesia. Terbukti dari banyaknya barang impor masuk ke Indonesia yang bersifat konsumtif. "Sekarang ini gara-gara kelakuan konsumtif kita juga dan kurang produktif kita," tuturnya di Graha CIMB Niaga, Jakarta, Kamis (6/9/2018). Perilaku yang konsumtif dengan membeli produk-produk impor turut membuat defisit transaksi berjalan Indonesia terus membesar. Pada kuartal II-2018 defisit transaksi berjalan RI sudah mencapai 3,04% terhadap PDB. Impor juga turut membuat permintaan akan dolar Amerika Serikat (AS) membesar. Sehingga mendorong rupiah semakin melemah. Selain itu, menurut Budi gaya hidup generasi milenial juga ikut berperan menekan rupiah. Saat ini kecenderungan generasi milenial hidup mementingkan liburan ke luar negeri ketimbang investasi. "Coba tanya saja anak milenial, mereka lebih banyak plesiran ke luar negeri dan pakai gadget impor dari luar. Jadi harus perbaiki diri juga," tambahnya. Meski begitu, Budi menegaskan, kondisi pelemahan rupiah saat ini tidak bisa disamakan dengan kondisi saat krisis moneter di 1998 ataupun 2008. Menurutnya pelemahan ini baru sebatas teguran agar masyarakat Indonesia dan pemerintah berbenah diri. "Ini bukan mengarah ke krisis yang akan fatal, ini teguran agar kita bangun untuk memperbaiki diri," tegasnya. Sumber : Detik
0 Comments
Leave a Reply. |
BPF NEWS
PT. BESTPROFIT FUTURES Archives
September 2022
|